You must always check a silence, not because the baby might have choked, but because it is in the middle of destroying something, thoroughly and slowly, with great and secret pleasure. It is important to remember this — you run back to the room, not to see if the baby needs resuscitation, but to save your floppy disks. Once you realise where the balance actually lies you can free yourself from the prison of worry. I know this. I am an expert. Some people, as they mount the stairs, might listen for the sound of a toy still in use — to me, this was the sound of the baby randomly kicking buttons in a sudden choking or epileptic fit. I used to read the ‘Emergencies’ section in the How to Kill Your Baby books all the time. The How to Kill Your Baby books are so popular that I assume some part of us wants to do just that. If the unconscious works by opposites, then it is a murderous business too, giving birth.
How to Kill Your Baby: A List:
Too much salt, fungally infected honey, a slippy bath surface, suddenly jealous pets, permanently jealous siblings, a stupid or pathological babysitter, the stairs, a house that goes on fire while you are ‘outside moving the car’, a child-snatcher, a small plastic toy, a playful jiggle that is as bad as a shake, an open cutlery drawer, a necklace, a string, a plastic bag, a piece of burst balloon, an electric cord, a telephone cord, a lollipop, a curtain cord, an inhaled sweet, an accidentally suffocating pillow, a smoky room, the wrong kind of mattress, an open window, a milk allergy, a nut allergy, a bee sting, a virus, a bacterial infection, a badly balanced walker, a bottle of bleach, all kinds of weedkiller, both on the lawn or in the bottle, pesticides, miscellaneous fumes, all carcinogens including apples, a failure to apply sun cream, the lack of a hat, battery-produced eggs, inorganic meat, cars. You might also have Munchausen’s syndrome by proxy without knowing it, so it is a good idea to check yourself for this, from time to time.
As far as I can see from the news reports, one of the most dangerous creatures in a child’s life is a stepfather, but the books don’t seem to mention them. They warn against mothers’ endless sloppiness with dangerous domestic objects, but they never mention their taste in men.
When the baby is eight months old, she cries every time I move out of sight. This separation anxiety can get quite wearing — it is so large and so illogical. Besides, I don’t need to be reminded that I’m not going anywhere, I am with this baby all the time. But I wonder if part of the problem isn’t my own anxiety when I leave the room. Will she still be alive when I get back? I picture the court case.
‘And why, pray tell, did you leave the baby?’
‘I . . . A call of nature, your honour.’
He pauses. A ripple of sympathy runs through the courtroom.
‘Well, I suppose even the best mothers must er um,’ though you know he thinks we shouldn’t. ‘Case dismissed. I suppose.’
Mothers worry. Fathers worry too, of course. But mothers are supposed to worry, and fathers are supposed to reassure. Yes, she is all right on the swing, no, he will not fall into the stream, yes, I will park the buggy in the shade, oh, please get a grip.
Is it really a gender thing? Maybe the people who worry most are the ones who spend the most time with the baby, because babies train us into it — the desperation of holding, walking, singing, distracting. Babies demand your entire self, but it is a funny kind of self. It is a mixture of the ‘all’ a factory worker gives to the conveyor belt and the ‘all’ a lover offers to the one he adores. It involves, on both counts, a fair degree of self-abnegation.
This is why people who mind children suffer from despair; it happens all of a sudden — they realise, all of a sudden, that they still exist. It is to keep this crux at bay perhaps — that is why we worry. Because worry is a way of not thinking something through.
I think worry is a neglected emotion — it is something that small-minded people do — but it has its existential side too. Here is the fire that burns, the button that chokes, here is the kettle, the car, the bacterium, the man in a mac. On the other side is something so vulnerable and yet so huge — there is something unknowable about a baby. And between these two uncertainties is the parent; completely responsible, mostly helpless, caught in an ever-shrinking circle of guilt and protectiveness, until a kind of frozen passivity sets in. There is a kind of freedom to it too — the transference of dread from the self to the child is so total: it makes you disappear. Ping! Don’t mind me.
The martyred mother is someone uplifted, someone who has given everything. She is the reason we are all here. She is also, and even to herself, a pain in the neck.
I think mothers worry more than fathers because worry keeps them pregnant. To worry is to possess, contain, hold. It is the most tenacious of emotions. A worry — and a worrier — never lets go. ‘It never ends,’ says my mother, ‘it never ends,’ meaning the love, but also the fret.
Because worry has no narrative, it does not shift, or change. It has no resolution. That is what it is for — not ending, holding on. And sometimes it is terrible to be the one who is held, and mostly it is just irritating, because the object of anxiety is not, after all, you. We slip like phantoms from our parents’ heads, leaving them to clutch some Thing they call by our name, because a mother has no ability to let her child go. And then, much later, in need, or in tragedy, or in the wearing of age, we slip back into her possession, because sometimes you just want your mother to hold you, in her heart if not in her arms, as she is still held by her own mother, even now, from time to time.
Anne Enright, ‘Worry’ in Making Babies: Stumbling into Motherhood, London: Vintage, 2005, 177-79.
Kamu harus selalu waspada akan suatu keheningan. Bukan karena si bayi bisa jadi sedang tersedak, namun karena ia sedang dalam proses menghancurkan sesuatu, perlahan dan pasti, dalam keasyikan yang menenggelamkan. Camkanlah hal ini dalam ingatanmu, bergegaslah kembali ke ruangan itu! Bukan untuk menolong nyawa bayimu, namun untuk menyelamatkan koleksi disketmu. Ketika kamu berhasil menemukan keseimbangan, saat itulah kamu dapat bebas dari belenggu keresahan. Aku tahu akan hal ini. Aku adalah ahlinya. Beberapa orang, saat mereka menaiki anak tangga, bisa jadi mendengar suara mainan yang sedang dimainkan si bayi, bagiku hal ini bagaikan suara si bayi yang menekan tombol acak karena tiba-tiba tersedak atau terserang epilepsi. Dulu aku rajin membaca bagian “Pertolongan Darurat” dalam buku Kiat-kiat Membunuh Bayimu. Buku ini sangatlah popular, hingga aku berasumsi bahwa sebagian dari kita memang benar-benar ingin melakukan hal itu. Jika alam bawah sadar bekerja ke arah yang berlawanan, maka persalinan juga merupakan tindakan pembunuhan.
Kiat-kiat Membunuh Bayimu:
Garam melebihi takaran, madu yang berjamur, permukaan bak mandi yang licin, hewan peliharaan yang tiba-tiba cemburu, kakak-adik yang cemburuan, pengasuh yang bodoh atau sakit jiwa, anak tangga, rumah yang terbakar ketika kamu sedang “memindahkan mobil di luar”, penculik anak-anak, mainan plastik yang kecil. Kiringcingan yang menyebalkan, laci peralatan makan yang menganga, seuntai kalung, seutas tali senar, kantong plastik, serpihan letusan balon, untaian kawat listrik, untaian kabel telepon, sebatang permen lolipop, tali gorden, butiran gula halus yang terhirup, bantal yang tak sengaja mencekik, ruangan berasap, tipe kasur yang tak sesuai, jendela yang terbuka, susu yang membuat alergi, kacang yang membuat alergi,, sengatan lebah, virus, terinfekti bakteri, alat belajar berjalan, sebotol pemutih, segala jenis herbisida; baik yang sudah tersebar di halaman atau masih dalam kemasan, pestisida, berbagai macam bau yang meyengat, semua zat karsinogen termasuk apel, kelalaian menggunakan tabir surya, lupa menggunakan topi, telur hasil inkubasi artifisial, daging nonorganik, berbagai macam mobil. Kamu mungkin juga menderita sindrom Munchausen secara proksi tanpa menyadarinya. Sebaiknya kamu melakukan pemeriksaan rutin terhadap penyakit ini.
Sejauh yang kuamati dalam pemberitaan, salah satu mahkluk paling berbahaya dalam hidup seorang anak adalah sosok ayah tiri, namun, hal ini tidak tersurat di dalam buku itu. Mereka menegur tiada henti tentang kecerobohan ibu atas benda-benda rumah tangga yang berbahaya, tanpa mereka pernah menerangkan bagaimana maunya para lelaki itu.
Tatkala bayi perempuan itu genap berumur delapan bulan, ia menangis setiap aku menghilang dari pendangannya. Kecemasan akan perpisahan ini cukup melelahkan – keadaan ini begitu nyata dan tak logis. Lagi pula, aku tak perlu diingatkan bahwa aku tidak akan kemana-mana, aku selalu bersama bayi ini sepanjang waktu. Namun, terkadang aku berpikir bahwa masalahnya juga terletak pada kecemasanku sendiri, yang muncul saat aku meninggalkan ruangan. “Apakah bayiku masih hidup di saat ku kembali?” Terghambarlah olehku sidang pengadilan.
"Demi Tuhan, mengapa kau tinggalkan bayi itu sendirian?"
“Saya… itu sesuatu yang alamiah, Yang Mulia.”
Lelaki itu termenung sejenak. Gelombang simpati menyapu aula persidangan.
"Yah, itu dapat saja terjadi bahkan pada ibu-ibu terbaik...", meskipun jelas lelaki itu tidak berpikir itu harus terjadi. "Kasus ditutup. Harapku.”
Yang dikhawatirkan Ibu. Ayah juga tentunya. Tapi memang ibu sudah seharusnya khawatir, dan tugas ayah untuk menenangkannya. Ya, anak perempuan itu akan tenang dalam ayunan, tidak, anak lelaki itu tidak akan terjatuh ke dalam air, aku akan meninggalkan kereta bayi diketeduhan. Jangan lupa gunakan pengaman roda.
Apakah ini tentang kesetaraan gender? Mungkin orang yang paling khawatir adalah yang paling banyak menghabiskan waktunya bersama si bayi, karena para bayi menyeret kita dalam situasi itu–- mereka harus terus digendong, diajak jalan-jalan, disenandungkan, dan dihibur. Bayi menuntut semua yang dapat kita berikan, bahkan lebih. Mereka butuh perhatian laksana gabungan antara pekerja pabrik yang menjaga sabuk konveyor, dengan segala pengabdian tanpa pamrih dari seorang kekasih. Perumpamaan keduanya bisa jadi penyangkalan diri.
Inilah sebabnya mengapa orang-orang yang berurusan dengan anak-anak berjuang dalam cengkeraman keputusasaan. Semua kejadian mendadak ini — mereka sadari – segala serba seketika itu --- menyadarkan bahwa mereka masih ada. Mungkin untuk mengindahkan inti permasalahan— inilah alasan mengapa kita meresah, karena keresahan merupakan suatu cara agar tidak diambil pusing.
Menurutku, perasaan resah adalah emosi yang tak terelakkan - ini adalah sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang yang berpikiran sempit - namun, memiliki sisi benarnya juga. Di satu sisi mereka tersiksa oleh nyala api yang menghanguskan, nafas yang menyesakkan, ketelnya; mobilnya; bakterinya; lelaki penguntit di taman bermain. Di sisi lain, ada sesuatu yang rentan namun begitu berharga— sesuatu yang orang-orang tidak pahami tentang sesosok bayi.
Di antara dua ambiguitas ini adalah sosok orang tua; yang penuh tanggung jawab, namun seringkali tak berdaya, tersandera - terbelenggu di antara rasa bersalah dan mengayomi buah hati, hingga keadaan membeku. Ada saat semua ingin dibebaskan–- kita secara total mengalihkan rasa takut yang kita miliki kepada anak itu semuanya: yang membuat kamu menghilang. Ping! Jangan hiraukan aku.
Seorang ibu yang mati syahid adalah seorang yang ceria, yang telah mengorbankan segalanya. Ibu adalah alasan kita semua ada di sini. Ia, bahkan bagi dirinya sendiri – adalah momok abadi.
Menurutku, keresahan seorang ibu melebihi ayah, karena kekhawatiran itu seperti kelanjutan dari kehamilan. Meresah berarti memiliki, menahan, mencengkram. Ini adalah emosi yang paling kokoh. Rasa resah– dan seseorang dengan keresahannya— tidak akan pernah terbebas. ‘Ini tidak akan pernah berakhir’, nasehat ibuku, ‘ini tak akan pernah berakhir,’ ada rasa cinta, namun juga kepedihan.
Dikarenakan keresahan tidak memiliki narasi, ia tidak dapat berubah atau bertansformasi. Tak ada ketetapannya.. Keresahan itu kekal, terus-menerus. Dan terkadang keresahan itu menjadikan orang yang mencengkramnya mengerikan, dan kebanyakan hanya memunculkan kejengkelan, karena bagaimanapun juga, kita bukanlah objek dari kekhawatiran. Kita akan memudar laksana hantu dari ingatan orang tua kita, meninggalkan mereka untuk bergantung kepada Sesuatu yang dengannya nama kami mereka sebut, karena seorang ibu tak akan sanggup melepaskan anak-anak mereka. Dan kemudian, sedemikian lama, baik tatkala dibutuhkan, atau dalam suatu musibah, atau seiring bertambahnya usia, kita akan kembali menjadi kepemilikan ibu kita, karena terkadang kita hanya mendambakan pelukannya– setidaknya dalam relung hatinya, jika tidak dalam genggamannya–- sebagaimana ia masih dipeluk oleh ibunya sendiri, bahkan hingga kini, dari waktu ke waktu.
You must always check a silence, not because the baby might have choked, but because it is in the middle of destroying something, thoroughly and slowly, with great and secret pleasure. It is important to remember this — you run back to the room, not to see if the baby needs resuscitation, but to save your floppy disks. Once you realise where the balance actually lies you can free yourself from the prison of worry. I know this. I am an expert. Some people, as they mount the stairs, might listen for the sound of a toy still in use — to me, this was the sound of the baby randomly kicking buttons in a sudden choking or epileptic fit. I used to read the ‘Emergencies’ section in the How to Kill Your Baby books all the time. The How to Kill Your Baby books are so popular that I assume some part of us wants to do just that. If the unconscious works by opposites, then it is a murderous business too, giving birth.
How to Kill Your Baby: A List:
Too much salt, fungally infected honey, a slippy bath surface, suddenly jealous pets, permanently jealous siblings, a stupid or pathological babysitter, the stairs, a house that goes on fire while you are ‘outside moving the car’, a child-snatcher, a small plastic toy, a playful jiggle that is as bad as a shake, an open cutlery drawer, a necklace, a string, a plastic bag, a piece of burst balloon, an electric cord, a telephone cord, a lollipop, a curtain cord, an inhaled sweet, an accidentally suffocating pillow, a smoky room, the wrong kind of mattress, an open window, a milk allergy, a nut allergy, a bee sting, a virus, a bacterial infection, a badly balanced walker, a bottle of bleach, all kinds of weedkiller, both on the lawn or in the bottle, pesticides, miscellaneous fumes, all carcinogens including apples, a failure to apply sun cream, the lack of a hat, battery-produced eggs, inorganic meat, cars. You might also have Munchausen’s syndrome by proxy without knowing it, so it is a good idea to check yourself for this, from time to time.
As far as I can see from the news reports, one of the most dangerous creatures in a child’s life is a stepfather, but the books don’t seem to mention them. They warn against mothers’ endless sloppiness with dangerous domestic objects, but they never mention their taste in men.
When the baby is eight months old, she cries every time I move out of sight. This separation anxiety can get quite wearing — it is so large and so illogical. Besides, I don’t need to be reminded that I’m not going anywhere, I am with this baby all the time. But I wonder if part of the problem isn’t my own anxiety when I leave the room. Will she still be alive when I get back? I picture the court case.
‘And why, pray tell, did you leave the baby?’
‘I . . . A call of nature, your honour.’
He pauses. A ripple of sympathy runs through the courtroom.
‘Well, I suppose even the best mothers must er um,’ though you know he thinks we shouldn’t. ‘Case dismissed. I suppose.’
Mothers worry. Fathers worry too, of course. But mothers are supposed to worry, and fathers are supposed to reassure. Yes, she is all right on the swing, no, he will not fall into the stream, yes, I will park the buggy in the shade, oh, please get a grip.
Is it really a gender thing? Maybe the people who worry most are the ones who spend the most time with the baby, because babies train us into it — the desperation of holding, walking, singing, distracting. Babies demand your entire self, but it is a funny kind of self. It is a mixture of the ‘all’ a factory worker gives to the conveyor belt and the ‘all’ a lover offers to the one he adores. It involves, on both counts, a fair degree of self-abnegation.
This is why people who mind children suffer from despair; it happens all of a sudden — they realise, all of a sudden, that they still exist. It is to keep this crux at bay perhaps — that is why we worry. Because worry is a way of not thinking something through.
I think worry is a neglected emotion — it is something that small-minded people do — but it has its existential side too. Here is the fire that burns, the button that chokes, here is the kettle, the car, the bacterium, the man in a mac. On the other side is something so vulnerable and yet so huge — there is something unknowable about a baby. And between these two uncertainties is the parent; completely responsible, mostly helpless, caught in an ever-shrinking circle of guilt and protectiveness, until a kind of frozen passivity sets in. There is a kind of freedom to it too — the transference of dread from the self to the child is so total: it makes you disappear. Ping! Don’t mind me.
The martyred mother is someone uplifted, someone who has given everything. She is the reason we are all here. She is also, and even to herself, a pain in the neck.
I think mothers worry more than fathers because worry keeps them pregnant. To worry is to possess, contain, hold. It is the most tenacious of emotions. A worry — and a worrier — never lets go. ‘It never ends,’ says my mother, ‘it never ends,’ meaning the love, but also the fret.
Because worry has no narrative, it does not shift, or change. It has no resolution. That is what it is for — not ending, holding on. And sometimes it is terrible to be the one who is held, and mostly it is just irritating, because the object of anxiety is not, after all, you. We slip like phantoms from our parents’ heads, leaving them to clutch some Thing they call by our name, because a mother has no ability to let her child go. And then, much later, in need, or in tragedy, or in the wearing of age, we slip back into her possession, because sometimes you just want your mother to hold you, in her heart if not in her arms, as she is still held by her own mother, even now, from time to time.
Anne Enright, ‘Worry’ in Making Babies: Stumbling into Motherhood, London: Vintage, 2005, 177-79.
Kamu harus selalu waspada akan suatu keheningan. Bukan karena si bayi bisa jadi sedang tersedak, namun karena ia sedang dalam proses menghancurkan sesuatu, perlahan dan pasti, dalam keasyikan yang menenggelamkan. Camkanlah hal ini dalam ingatanmu, bergegaslah kembali ke ruangan itu! Bukan untuk menolong nyawa bayimu, namun untuk menyelamatkan koleksi disketmu. Ketika kamu berhasil menemukan keseimbangan, saat itulah kamu dapat bebas dari belenggu keresahan. Aku tahu akan hal ini. Aku adalah ahlinya. Beberapa orang, saat mereka menaiki anak tangga, bisa jadi mendengar suara mainan yang sedang dimainkan si bayi, bagiku hal ini bagaikan suara si bayi yang menekan tombol acak karena tiba-tiba tersedak atau terserang epilepsi. Dulu aku rajin membaca bagian “Pertolongan Darurat” dalam buku Kiat-kiat Membunuh Bayimu. Buku ini sangatlah popular, hingga aku berasumsi bahwa sebagian dari kita memang benar-benar ingin melakukan hal itu. Jika alam bawah sadar bekerja ke arah yang berlawanan, maka persalinan juga merupakan tindakan pembunuhan.
Kiat-kiat Membunuh Bayimu:
Garam melebihi takaran, madu yang berjamur, permukaan bak mandi yang licin, hewan peliharaan yang tiba-tiba cemburu, kakak-adik yang cemburuan, pengasuh yang bodoh atau sakit jiwa, anak tangga, rumah yang terbakar ketika kamu sedang “memindahkan mobil di luar”, penculik anak-anak, mainan plastik yang kecil. Kiringcingan yang menyebalkan, laci peralatan makan yang menganga, seuntai kalung, seutas tali senar, kantong plastik, serpihan letusan balon, untaian kawat listrik, untaian kabel telepon, sebatang permen lolipop, tali gorden, butiran gula halus yang terhirup, bantal yang tak sengaja mencekik, ruangan berasap, tipe kasur yang tak sesuai, jendela yang terbuka, susu yang membuat alergi, kacang yang membuat alergi,, sengatan lebah, virus, terinfekti bakteri, alat belajar berjalan, sebotol pemutih, segala jenis herbisida; baik yang sudah tersebar di halaman atau masih dalam kemasan, pestisida, berbagai macam bau yang meyengat, semua zat karsinogen termasuk apel, kelalaian menggunakan tabir surya, lupa menggunakan topi, telur hasil inkubasi artifisial, daging nonorganik, berbagai macam mobil. Kamu mungkin juga menderita sindrom Munchausen secara proksi tanpa menyadarinya. Sebaiknya kamu melakukan pemeriksaan rutin terhadap penyakit ini.
Sejauh yang kuamati dalam pemberitaan, salah satu mahkluk paling berbahaya dalam hidup seorang anak adalah sosok ayah tiri, namun, hal ini tidak tersurat di dalam buku itu. Mereka menegur tiada henti tentang kecerobohan ibu atas benda-benda rumah tangga yang berbahaya, tanpa mereka pernah menerangkan bagaimana maunya para lelaki itu.
Tatkala bayi perempuan itu genap berumur delapan bulan, ia menangis setiap aku menghilang dari pendangannya. Kecemasan akan perpisahan ini cukup melelahkan – keadaan ini begitu nyata dan tak logis. Lagi pula, aku tak perlu diingatkan bahwa aku tidak akan kemana-mana, aku selalu bersama bayi ini sepanjang waktu. Namun, terkadang aku berpikir bahwa masalahnya juga terletak pada kecemasanku sendiri, yang muncul saat aku meninggalkan ruangan. “Apakah bayiku masih hidup di saat ku kembali?” Terghambarlah olehku sidang pengadilan.
"Demi Tuhan, mengapa kau tinggalkan bayi itu sendirian?"
“Saya… itu sesuatu yang alamiah, Yang Mulia.”
Lelaki itu termenung sejenak. Gelombang simpati menyapu aula persidangan.
"Yah, itu dapat saja terjadi bahkan pada ibu-ibu terbaik...", meskipun jelas lelaki itu tidak berpikir itu harus terjadi. "Kasus ditutup. Harapku.”
Yang dikhawatirkan Ibu. Ayah juga tentunya. Tapi memang ibu sudah seharusnya khawatir, dan tugas ayah untuk menenangkannya. Ya, anak perempuan itu akan tenang dalam ayunan, tidak, anak lelaki itu tidak akan terjatuh ke dalam air, aku akan meninggalkan kereta bayi diketeduhan. Jangan lupa gunakan pengaman roda.
Apakah ini tentang kesetaraan gender? Mungkin orang yang paling khawatir adalah yang paling banyak menghabiskan waktunya bersama si bayi, karena para bayi menyeret kita dalam situasi itu–- mereka harus terus digendong, diajak jalan-jalan, disenandungkan, dan dihibur. Bayi menuntut semua yang dapat kita berikan, bahkan lebih. Mereka butuh perhatian laksana gabungan antara pekerja pabrik yang menjaga sabuk konveyor, dengan segala pengabdian tanpa pamrih dari seorang kekasih. Perumpamaan keduanya bisa jadi penyangkalan diri.
Inilah sebabnya mengapa orang-orang yang berurusan dengan anak-anak berjuang dalam cengkeraman keputusasaan. Semua kejadian mendadak ini — mereka sadari – segala serba seketika itu --- menyadarkan bahwa mereka masih ada. Mungkin untuk mengindahkan inti permasalahan— inilah alasan mengapa kita meresah, karena keresahan merupakan suatu cara agar tidak diambil pusing.
Menurutku, perasaan resah adalah emosi yang tak terelakkan - ini adalah sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang yang berpikiran sempit - namun, memiliki sisi benarnya juga. Di satu sisi mereka tersiksa oleh nyala api yang menghanguskan, nafas yang menyesakkan, ketelnya; mobilnya; bakterinya; lelaki penguntit di taman bermain. Di sisi lain, ada sesuatu yang rentan namun begitu berharga— sesuatu yang orang-orang tidak pahami tentang sesosok bayi.
Di antara dua ambiguitas ini adalah sosok orang tua; yang penuh tanggung jawab, namun seringkali tak berdaya, tersandera - terbelenggu di antara rasa bersalah dan mengayomi buah hati, hingga keadaan membeku. Ada saat semua ingin dibebaskan–- kita secara total mengalihkan rasa takut yang kita miliki kepada anak itu semuanya: yang membuat kamu menghilang. Ping! Jangan hiraukan aku.
Seorang ibu yang mati syahid adalah seorang yang ceria, yang telah mengorbankan segalanya. Ibu adalah alasan kita semua ada di sini. Ia, bahkan bagi dirinya sendiri – adalah momok abadi.
Menurutku, keresahan seorang ibu melebihi ayah, karena kekhawatiran itu seperti kelanjutan dari kehamilan. Meresah berarti memiliki, menahan, mencengkram. Ini adalah emosi yang paling kokoh. Rasa resah– dan seseorang dengan keresahannya— tidak akan pernah terbebas. ‘Ini tidak akan pernah berakhir’, nasehat ibuku, ‘ini tak akan pernah berakhir,’ ada rasa cinta, namun juga kepedihan.
Dikarenakan keresahan tidak memiliki narasi, ia tidak dapat berubah atau bertansformasi. Tak ada ketetapannya.. Keresahan itu kekal, terus-menerus. Dan terkadang keresahan itu menjadikan orang yang mencengkramnya mengerikan, dan kebanyakan hanya memunculkan kejengkelan, karena bagaimanapun juga, kita bukanlah objek dari kekhawatiran. Kita akan memudar laksana hantu dari ingatan orang tua kita, meninggalkan mereka untuk bergantung kepada Sesuatu yang dengannya nama kami mereka sebut, karena seorang ibu tak akan sanggup melepaskan anak-anak mereka. Dan kemudian, sedemikian lama, baik tatkala dibutuhkan, atau dalam suatu musibah, atau seiring bertambahnya usia, kita akan kembali menjadi kepemilikan ibu kita, karena terkadang kita hanya mendambakan pelukannya– setidaknya dalam relung hatinya, jika tidak dalam genggamannya–- sebagaimana ia masih dipeluk oleh ibunya sendiri, bahkan hingga kini, dari waktu ke waktu.
Translation Commentary
Nirvana Latifah
I chose 'Worry' by Anne Enright because I could feel the agony of being a mother from the first time I read it. Like how my mother would’ve felt when I ignored her missed calls while being 10.000+ miles away from her.
The word “resah” is being chosen to translate “worry” even though it’s not the common translation, which is “khawatir”. “Resah” in Indonesian means “rusuh hati” = the non-stop unsettling feeling you have in your heart, whereas “khawatir” have a much simpler meaning, which is to worry.
“It is important to remember this — you run back to the room,” I translated as “Camkan hal ini dalam ingatanmu, bergegaslah kembali ke ruangan itu!” . The word “camkan” does not appear to be in official Indonesian vocabulary. But it is a word used by my mother and lecturer when they want us to remember something. The exclamation mark was added to replace the comma because, in Indonesia, we use an exclamation mark to express the form of orders that describe sincerity.
“How to Kill Your Baby” can also be translated to “Bagaimana Caranya untuk Membunuh Bayimu”, but I chose “Kiat-kiat Membuhuh Bayimu”. The sentence “How to Kill Your Baby” could be dissected into “How to = Bagaimana Cara” + “Kill Your Baby = Membunuh Bayimu”. However, I chose to replace “Bagaimana Cara” with “Kiat-kiat”, which is not so commonly used. While “Kiat-kiat” also means how to, it implies the extra connotation of doing something using clever tactics. It is mostly used in older Indonesian manuscripts.
When describing the list of things that could kill one’s baby, I choose to use a full stop to divide each object instead of a comma which Enright uses. This decision is made to make it easier to read for Indonesian audiences.
“The Baby” can be translated to “bayi”-- or if you take the word “the” in consideration, you can pick either “sang” or “si”. The word “The”, when referring to a person, can be translated to “Si” or “Sang”. “Si” refers to someone with an equal hierarchy as the person who mentioned them. Meanwhile, “Sang” is better known as the article for words that have the impression of a higher position or degree, so I chose “si” bayi.
In Indonesian literature, the word “sang” is usually being used to address someone in higher-up roles, e.g., “sang Raja” = “The King”, or “sang Surya” = “The Sun”. “Si” usually addresses someone closer to our heart, like our friends or family members.
I translated the word “open” from “An open cutlery drawer” to “menganga”. The meaning is similar to how we unconsciously open our mouths during unexpected moments. I imagined that with so many tasks to do by the mother, it is understandable that sometimes she forgot to close the cutlery drawer in a rush.
“She is also, and even to herself, a pain in the neck” is a beautiful expression that is a bit hard to translate. I decided to use a single word to describe “a pain in the neck” (the literal translation would be “sakit leher”), which is “momok”. “Momok” means something terrifying because it is dangerous, something utterly shameful, something annoying.
As we grew older, overwhelming attention from our mother could sometimes feel embarrassing or unsettling. Maybe she herself was also aware of that situation. But that's that—the pain of being a mother. No matter how long since you’ve given birth, your child will never grow old in your own eyes. They’re going to be just your child forever.
The difficulty I’ve faced is to affirm the translation contains the same emotions that Enright served us. It took several weeks and twitching around words and sentences to ensure everything felt right. “Worry” by Anne Enright is genuinely a gem.